City Branding dan Politik Harus Bertemu Berpisah di Persimpangan

Oleh: Abdul Khair SPd MIKom

KANALKALIMANTAN.COM – Layaknya seorang pencinta yang tulus. Politik hanya mempunyai tugas untuk membangun city branding di benak penghuni dan pengunjung sebuah kota. Ketika ia (Sebuah kota, red) sudah berupaya mengenalkan diri, kemudian membentuk identitasnya, maka lepaslah ia di persimpangan!.

Keegoisan politik untuk terus mengikuti setiap gerak-gerik city branding hanya akan membangun toxic relationship. Keinginan politis untuk terus jalan bersamaan, hanya akan membuat kota asing terhadap identitasnya, merasa dikekang, hingga kemudian membingungkan banyak pihak; calon investor, calon wisatawan, warga, hingga pemerintahan itu sendiri.

Politik dan pemerintahan harus berbahagia bermain-main dengannya (City branding, red) di ruang tamu. Tidak perlu terus masuk lebih dalam menerobos kamar dan merusak ruang privasi yang dimilikinya. Sebab politik dan city branding sama-sama sedang berjuang membangun identitas di kamar masing-masing.

Warna politik tidak harus sama dengan warna kota, simbol politik tidak harus sama dengan simbol identitas kota. Tidak perlu egois, lepaslah ia di persimpangan. Belajarlah ikhlas agar kota menjadi memori dan ingatan kolektif warga, bukan selera dan identitas politik penguasa. Sehingga, rasa memiliki warganya akan tumbuh.

Baca juga: Sidang PSU di MK: Tim Hanyar Sodorkan Indikasi Politik Uang, Syarifah Hayana Diminta Cabut Gugatan

Belajarlah puas dengan membangun regulasi dan pattern agar City Branding tumbuh dengan kemandiriannya, lalu cukup tersenyum dari kejauhan melihatnya bergerak bebas dan dimiliki banyak pihak. Biarkan para warga dan kota saling isi-mengisi berbagai hal yang semakin menguatkan identitas kota. Karena sejatinya, warga adalah bagian besar dari identitas kota itu sendiri. Sementara kekuatan politik tidak sekuat itu untuk bisa mengubah identitas dan persepsi warga.

Politik hanyalah persimpangan yang akan bertemu dengan city branding setiap 5 tahun sekali, maka tidak adil rasanya jika dalam setiap pertemuan itu ia (Kota, red) harus kembali menjadi asing dan mengulang kembali perkenalan. Hubungan egois dan toxic ini hanya akan menimbulkan banyak kerugian.

Pemerintahan selanjutnya akan cenderung menghancurkan kembali berbagai simbol yang mencerminkan pada kekuatan politis pemerintahan sebelumnya, lalu membangun kembali simbol-simbol dan warna-warna baru.

Padahal bisa jadi pada beberapa bagian yang telah dibangun untuk warga tersebut sudah ada sebagian warga yang merasa memiliki. Maka penting untuk tidak mencampuradukkan identitas politik dan city branding. Termasuk pada yang paling sederhana yaitu Jargon atau slogan kota.

Baca juga: Bupati Kapuas Lantik Dr Usis I Sangkai sebagai Pj Sekda

Jargon politik dan jargon kota harus dipisah sejak awal, dan porsinya harus sama-sama besar karena memiliki perbedaan kepentingan. Jargon politik berfungsi mengenalkan program dan sebagai barometer bagi para warga terhadap keberhasilan dan kegagalan sebuah kepemimpinan.

Sementara jargon kota berfungsi untuk mengenalkan identitas kota sehingga menarik untuk dikunjungi maupun menarik orang-orang untuk berinvestasi. Jargon kota harus bersifat konsisten agar bisa benar-benar mendarah daging bagi para warga maupun orang luar. Sementara jargon politik bersifat dinamis menyesuaikan program yang diusung oleh petahana dan sifatnya cenderung sementara.

Namun, yang harus menjadi catatan besar adalah porsi untuk mengenalkannya haruslah sama besar. Agar orang tidak mengenal sebuah kota dari jargon politisnya saja, sehingga menimbulkan kesan yang berubah-ubah, tidak konsisten dan membingungkan. Porsi mengenalkan jargon kota harus lebih besar pada ruang eksternal sementara, porsi mengenalkan jargon politik lebih besar pada ruang internal yang bersifat ke dalam.

Identitas kota akan berkorelasi dengan investasi dan Investor yang selalu bicara jangka panjang. Maka, identitas kota yang terus berubah dalam jangka pendek 5 tahunan, akan membuat perkembangan kota terus terhambat. Untuk itu sekali lagi, lepaskanlah city branding di persimpangan.

Baca juga: “Sikapos” Inovasi Nakes Teladan Kalsel Dukung Penurunan Stunting di HSU

Jika dalam persimpangan belum ada arah pembentukan identitas pada sebuah kota, maka buatlah patternnya sesuai dengan ruh dari kota itu sendiri, bukan atas selera pribadi.

Sementara, estafet kepemimpinan selanjutnya haruslah berbesar hati dan berkepala dingin untuk melanjutkan apa yang memang sudah menjadi milik warga secara kolektif, bukan milik pemimpin sebelumnya.

Lepaslah, biarkan ia menikah dengan benak para warganya yang punya pandangan kolektif soal kota yang ditempatinya sejak pertama kali ia membuka mata. Dukung warga untuk melihat lebih banyak hal-hal yang familiar dimata, telinga, dan hidungnya. Bukan sesuatu yang justru asing bagi mereka.

Editor: bie

Artikel City Branding dan Politik Harus Bertemu Berpisah di Persimpangan pertama kali tampil pada Kanal Kalimantan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Peringatan Hari Lahir Pancasila di Kabupaten Banjar Berlangsung Khidmat

Majelis Taklim dan Pesantren Nurul Ihsan Diresmikan, Wabup Banjar Lakukan Peletakan Batu Pertama

Hanya Mobil Pribadi dan Motor Boleh Melintas di Jembatan Paringin